MAKAN YANG HALAL SAJA, TIDAK CUKUP
Hawa nafsu perut seringkali lebih dahsyat godaannya dibanding hawa nafsu yang lain. Tak bisa merayu dengan makanan haram, setan pun masuk melalui godaan kuliner maknyus di lidah yang tidak thayyib dan minim gizi. Tak heran, banyak orang yang mengidap penyakit akut tetap tidak bisa menghindari pantangan makanannya.
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, MSc, engungkapkan bahwa kita harus mengukur makanan halal dengan tiga pemahaman berikut :
Pertama, konsep halal itu haqullah atau hak Allah.
Yang menentukan halal atau tidak hanya Allah. Halal dan haram bersifat mutlak, sedangkan thayyiban itu relatif. Karenanya, dalam thayyiban, manusia bisa punya andil menyimpulkan makanan itu thayyib atau tidak untuk dirinya. Contoh, durian yang dasarnya thayyib akan tidak baik jika dikonsumsi penderita hipertensi. Jadi dalam hal thayyib bisa mempertimbangkan situasi dan kondisi. Minimal tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran, maka sudah masuk kategori thayyib menurut Imam Ibn Katsir. Sedang halal haram, kecuali dalam keadaan darurat, tidak bisa dinegosiasikan.
Kedua, tidak israf (berlebihan).
Meski makanan itu halalan thayyiban, bukan berarti kita boleh makan sebanyak-banyaknya atau berperilaku mubazir. Firman Allah swt, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” (QS. Al-A'raf [7]: 31).
Ketiga, halal harus memenuhi dua hal: halal zatnya (dzatiyun) dan halal cara mendapatnya (aridzi). Misalnya nasi, zatnya halal, tapi jika diperoleh dari harta korupsi atau menipu, nasi itu dikatakan haram. Namun, haramnya aridzi tidak sama dengan haram dzatiyun. Haram cara mendapatkannya tidak mengubah status kehalalan nasi menjadi haram.
Meski makanan adalah sumber kesehatan, ia bisa juga jadi sumber penyakit. Rasulullah saw mengatakan, “Sumber dari pada penyakit adalah perut. Perut adalah gudang penyakit dan berpuasa itu adalah obat,” (HR Muslim). Nabi saw juga mengatakan, “Yang paling aku takuti hinggap pada umatku ada dua, kibaru bathni wal kasal (perut besar karena banyak makan dan kemalasan).”
Sumber : http:// www.ummi-online.com/ ternyata-makanan-halal-saja -tidak-cukup.html
Dan makan tentu saja jadi lebih berarti jika tak hanya sekedar mengenyangkan perut sendiri. Makan sambil beramal di Warung Nasi Ampera Suci, Jalan PHH. Mustofa No.27, Bandung. Abis makan, biasa berdonasi di kasirnya ^^
#KemudahanDonasi #RZ18 #SharingHappiness#Zakat #Sedekah #Sharing #Happiness #Berbagi#Donasi #DonasiOnline
Hawa nafsu perut seringkali lebih dahsyat godaannya dibanding hawa nafsu yang lain. Tak bisa merayu dengan makanan haram, setan pun masuk melalui godaan kuliner maknyus di lidah yang tidak thayyib dan minim gizi. Tak heran, banyak orang yang mengidap penyakit akut tetap tidak bisa menghindari pantangan makanannya.
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, MSc, engungkapkan bahwa kita harus mengukur makanan halal dengan tiga pemahaman berikut :
Pertama, konsep halal itu haqullah atau hak Allah.
Yang menentukan halal atau tidak hanya Allah. Halal dan haram bersifat mutlak, sedangkan thayyiban itu relatif. Karenanya, dalam thayyiban, manusia bisa punya andil menyimpulkan makanan itu thayyib atau tidak untuk dirinya. Contoh, durian yang dasarnya thayyib akan tidak baik jika dikonsumsi penderita hipertensi. Jadi dalam hal thayyib bisa mempertimbangkan situasi dan kondisi. Minimal tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran, maka sudah masuk kategori thayyib menurut Imam Ibn Katsir. Sedang halal haram, kecuali dalam keadaan darurat, tidak bisa dinegosiasikan.
Kedua, tidak israf (berlebihan).
Meski makanan itu halalan thayyiban, bukan berarti kita boleh makan sebanyak-banyaknya atau berperilaku mubazir. Firman Allah swt, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” (QS. Al-A'raf [7]: 31).
Ketiga, halal harus memenuhi dua hal: halal zatnya (dzatiyun) dan halal cara mendapatnya (aridzi). Misalnya nasi, zatnya halal, tapi jika diperoleh dari harta korupsi atau menipu, nasi itu dikatakan haram. Namun, haramnya aridzi tidak sama dengan haram dzatiyun. Haram cara mendapatkannya tidak mengubah status kehalalan nasi menjadi haram.
Meski makanan adalah sumber kesehatan, ia bisa juga jadi sumber penyakit. Rasulullah saw mengatakan, “Sumber dari pada penyakit adalah perut. Perut adalah gudang penyakit dan berpuasa itu adalah obat,” (HR Muslim). Nabi saw juga mengatakan, “Yang paling aku takuti hinggap pada umatku ada dua, kibaru bathni wal kasal (perut besar karena banyak makan dan kemalasan).”
Sumber : http://
Dan makan tentu saja jadi lebih berarti jika tak hanya sekedar mengenyangkan perut sendiri. Makan sambil beramal di Warung Nasi Ampera Suci, Jalan PHH. Mustofa No.27, Bandung. Abis makan, biasa berdonasi di kasirnya ^^
#KemudahanDonasi #RZ18 #SharingHappiness#Zakat #Sedekah #Sharing #Happiness #Berbagi#Donasi #DonasiOnline
Post a Comment for "MAKAN YANG HALAL SAJA, TIDAK CUKUP, Share Via FB Rumah Zakat"