Kemoceng, Share Via Group WA

Copas dr grup kajian sebelah
Maaf puanjang
Semoga ada hikmah yg d ambil
Agak panjang..tapi pelan2 sabar..untuk bacanya..mudah2an ada hikmah dari Allah untuk kita semua...Aamiin..:
copas dari ponpes sebelah :

KEMOCENG

“Kyai, maafkanlah saya yg telah memfitnah pak kyai dan ajarkan saya sesuatu yg bisa menghapuskan kesalahan saya ini.”
Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan kyai.

Kyai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kyai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kyai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yg akan diajarkan Kyai Husain kepadaku, yg jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yg bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kyai Husain mengucapkan sesuatu yg benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?”
Aku benar-benar heran Kyai Husain justru menanyakan sesuatu yg tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Kyai?” Aku berusaha memperjelas maksud kyai Husain.
Kyai Husain tertawa, seperti kyai Husain yg biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku,
“Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya Kyai Husain benar-benar serius dengan permintaannya.
“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yg harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

Kyai Husain tersenyum.
“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya,
“Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yg kau lalui.”
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud kyai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata kyai Husain. Ada senyum yg sedikit terkembang di wajahku.

Keesokan harinya, aku menemui Kyai Husain dengan sebuah kemoceng yg sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
“Ini, Kyai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai.
Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yg sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, kyai. Maafkan saya…”
Kyai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yg aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kyai Husain yg lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah…” kata Kyai Husain.
Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yg sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”

Aku terkejut mendengarkan permintaan kyai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya:
“Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yg tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yg bisa kau kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kyai Husain.
“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kyai Husain.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yg tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yg terik. Perjalanan yg melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yg sedang menuju kota yg jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yg kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus berjalan...

Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yg dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yg berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yg ku cabuti dan ku jatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yg berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.

Hari berikutnya aku menemui Kyai Husain dengan wajah yg murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kyai Husain. “Ini, Kyai, hanya ini yg berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kyai Husain.
Kyai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,” katanya.
Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yg telah aku pelajari, Kyai?” Aku benar-benar tak mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab kyai Husain.

Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu-bulu yg kau cabuti dan kau jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yg kau sebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yg beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu.
Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yg tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yg tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yg paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yg menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yg telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yg mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya."

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yg terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yg terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yg kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya.
Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
“Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim…
Astagfirulloh hal-adzhim…”

Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kyai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yg telah aku perbuat.

Kyai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya. “Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yg Maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim...”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yg mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yg sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kyai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata.

Demikianlah sahabat & saudaraku. Itulah kenapa, fitnah itu "KEJAM".
Lebih kejam dari pada pembunuhan.

Bayangkan berapa juta wall di medsos yg kita penuhi kalau 1 kali saja posting fitnah dan itu akan menetap abadi sepanjang masa apalagi kalau di share. Maka setiap kita posting mari di telaah dulu fitnah atau bukan?


Semoga kita terhindar dari fitnah manusia & fitnah dzajjal. 
Aamiin...🙏

Post a Comment for "Kemoceng, Share Via Group WA"